Kebijakan Pemerintah
Kolonial Jepang Dalam Pendidikan Islam di Indonesia
A.
Kebijakan
Pemerintah Kolonial Jepang dalam bidang Pendidikan Islam
Didorong semangat untuk
mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia
Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina,
Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan
Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara
sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya)
dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan
Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan
konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola
pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang
sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
Pasifik.[1]
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang
selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret
1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait
pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1.
Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar
pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2.
Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya
sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sementara
itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
a.
Mengubah Kantoor Voor
Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi
Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
b.
Pondok pesantren sering
mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
c.
Mengizinkan pembentukan
barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda
Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
d.
Mengizinkan berdirinya
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta.
e.
Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan
menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
f.
Diizinkannya Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan
diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua
ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.[2] Lepas
dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika
itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah
tercapainya kemerdekaan.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian
dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
a.
Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama
studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama
dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
b.
Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
c.
Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat
vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik,
dan pertanian.
d.
Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh
pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di
bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada
Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang
tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib
serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro
sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga
pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di
Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena
itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi
kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang
akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem
Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk
menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia
Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih
guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan
pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
a.
Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu (kemakmuran
bersama asia raya) dengan semboyan asaia untuk asia;
b.
Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat
Jepang;
c.
Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
d.
Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
e.
Olaharaga dan nyanyian Jepang.
B.
Latar
Belakang dan Tujuan Kebijakan Pemerintah Kolonial Jepang dalam bidang
Pendidikan Islam
Dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia, Jepang menguasai daerah yang
berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa, yang antara lain menghasilkan 50%
produksi karet dan 70% produksi timah dunia, Indonesia yang kaya akan sumber
bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Itulah sebabnya, Jepang
menyerbu Indonesia, karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan
mentah dan tenaga manusia yang kaya raya sangat besar artinya bagi kelangsungan
perang Pasifik.
Hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Tujuan
pendidikan pada zaman Jepang tidaklah hanya memenangkan peperangan. Secara
konkret tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cuma-cuma
(rumosha) dan prajurit-prajurit yang membantu peperangan bagi kepentingan
Jepang. Oleh karena itu, para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran
dan indoktrinasi ketat. Pada akhir zaman Jepang tampak tanda-tanda tujuan
menjepangkan anak-anak Indonesia. Maka dikerahkan barisan propaganda Jepang
yang terkenal dengan nama sedenbu, untuk menanamkan ideologi baru, untuk
menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Untuk menyebarluaskan ideologi dan semangat Jepang, para guru
digembleng secara khusus oleh pemimpin-pemimpin Jepang, selama tiga bulan di
Jakarta. Mereka diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada
teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang, murid-murid diajarkan bahasa
Jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran.[3]
Tentang sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata
lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada
zaman pemerintahan kolonial Belanda. Masalahnya, Jepang tidak begitu
menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi mereka adalah demi keperluan
memenangkan perang, dan kalau perlu pemuka agama lebih diberikan keleluasan
dalam mengembangkan pendidikannya. Berlainan dengan kolonial Belanda, disamping
bertindak sebagai kaum penjajah, tetapi ada misi lain yang tidak kalah penting
yang mereka emban yaitu misi agama Kristen, dan untuk ini tentu saja agama
Islam yang menjadi mayoritas penduduk pribumi sekaligus sebagai penentang
pertama kehadirannya, harus ditekan dengan berbagai cara, dan kalau perlu
dilenyapkan sama sekali.[4]
Disini beberapa tujuan pendidikan islam ketika zaman penjajahan jepang
antara lain:
a.
azaz tujuan muhamadiyah:
mewujudkan masyarakat islam yang sebenarnya dan azaz perjuangan dakwah
islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
b.
INS(Indonesische Nadelanshe
School) dipelopori oleh Muhammad syafi’i (1899-1969) bertjan mendidik anak
untuk berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh, membentuk
manusia yang berwatak dan menanam persatuan.
c.
Tujuan Nahdlatul Ulama’,
sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat, disamping mejadi
kemaslahatan umat islam itu sendiri.
Jadi, pada hakikatnya tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan
rasa keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua
membelah bangsa dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri
ataupun kemerdekaan secara manusiawi.[5]
C.
Permasalahan
dan Untung Ruginya Bagi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam pendidikan
sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan
dinegerikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman
Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan
oleh pendudukan Jepang.
Sementara itu khususnya pada awal-awalnya, madrasah dibangun dengan
gencar-gencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh Jepang. Walaupun
lebih bersifat politis belaka, kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja
dan umat Islam Indonesia memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Ini tampak di
Sumatera dengan berdirinya madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis
Islam Tinggi.
Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang
dikunjungi banyak anak-anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini
diadakan pada sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang
diajarkan ialah membaca Alquran, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan
pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum terbengkalai,
karena murid-muridnya setiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris berbaris,
bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya, madrasah-madrasah yang
berada di dalam lingkungan pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung
pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren dapat berjalan
dengan wajar.[6]
Kepercayaan
jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan
jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di
Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya
kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan islam, sehingga tanpa
disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup mempunyai potensi
untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya
menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak
itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang
memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain:
1) Dijadikannya Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2) Adanya integrasi sistem pendidikan
dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era
penjajahan Belanda.
Kepercayaan
jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan
jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di
Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya
kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan islam, sehingga tanpa
disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup mempunyai potensi
untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.
2.
Kritik
dan Saran
Setelah kita mempelajari pembahasan
diatas maka kita dapat mengetahui sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan
Jepang, alangkah baiknya kita bukan hanya sengetahui sejarah saja akan tetapi
kita harus bisa mengaplikasikanya ke zaman sekarang dan zaman yang akan datang.
Daftar Pustaka
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Mudyaharjo,Redja,
pengantar pendidikan (jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 )
Mustafa, Ally, Abdullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998)
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
[1] Redja mudyaharjo, pengantar pendidikan
(jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 ), hlm.267
[2] Suwendi, sejarah dan pemikiran
pendidikan islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hlm.87
[3] H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1998), hlm.103-105
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.64-65
[5]
http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
[6] H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm.110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar