Kamis, 29 Maret 2012

Makalah Kapita Selekta Islam


Kebijakan Pemerintah Kolonial Jepang Dalam Pendidikan Islam di Indonesia
A.                Kebijakan Pemerintah Kolonial Jepang dalam bidang Pendidikan Islam
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.[1]
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1.                  Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2.                  Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
a.                   Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
b.                  Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
c.                   Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
d.                  Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
e.                   Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
f.                   Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.[2] Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
a.                   Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
b.                  Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
c.                   Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
d.                  Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
a.                   Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu (kemakmuran bersama asia raya) dengan semboyan asaia untuk asia;
b.                  Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
c.                   Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
d.                  Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
e.                   Olaharaga dan nyanyian Jepang.

B.                 Latar Belakang dan Tujuan Kebijakan Pemerintah Kolonial Jepang dalam bidang Pendidikan Islam
Dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia, Jepang menguasai daerah yang berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa, yang antara lain menghasilkan 50% produksi karet dan 70% produksi timah dunia, Indonesia yang kaya akan sumber bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Itulah sebabnya, Jepang menyerbu Indonesia, karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan tenaga manusia yang kaya raya sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik.
Hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang tidaklah hanya memenangkan peperangan. Secara konkret tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cuma-cuma (rumosha) dan prajurit-prajurit yang membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran dan indoktrinasi ketat. Pada akhir zaman Jepang tampak tanda-tanda tujuan menjepangkan anak-anak Indonesia. Maka dikerahkan barisan propaganda Jepang yang terkenal dengan nama sedenbu, untuk menanamkan ideologi baru, untuk menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Untuk menyebarluaskan ideologi dan semangat Jepang, para guru digembleng secara khusus oleh pemimpin-pemimpin Jepang, selama tiga bulan di Jakarta. Mereka diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang, murid-murid diajarkan bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran.[3]
Tentang sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Masalahnya, Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi mereka adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu pemuka agama lebih diberikan keleluasan dalam mengembangkan pendidikannya. Berlainan dengan kolonial Belanda, disamping bertindak sebagai kaum penjajah, tetapi ada misi lain yang tidak kalah penting yang mereka emban yaitu misi agama Kristen, dan untuk ini tentu saja agama Islam yang menjadi mayoritas penduduk pribumi sekaligus sebagai penentang pertama kehadirannya, harus ditekan dengan berbagai cara, dan kalau perlu dilenyapkan sama sekali.[4]
Disini beberapa tujuan pendidikan islam ketika zaman penjajahan jepang antara lain:
a.                   azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat islam yang sebenarnya dan azaz perjuangan dakwah islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
b.                  INS(Indonesische Nadelanshe School) dipelopori oleh Muhammad syafi’i (1899-1969) bertjan mendidik anak untuk berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh, membentuk manusia yang berwatak dan menanam persatuan.
c.                   Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat, disamping mejadi kemaslahatan umat islam itu sendiri.
Jadi, pada hakikatnya tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara manusiawi.[5]

C.                Permasalahan dan Untung Ruginya Bagi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam pendidikan sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh pendudukan Jepang.
Sementara itu khususnya pada awal-awalnya, madrasah dibangun dengan gencar-gencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh Jepang. Walaupun lebih bersifat politis belaka, kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja dan umat Islam Indonesia memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Ini tampak di Sumatera dengan berdirinya madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis Islam Tinggi.
Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak anak-anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini diadakan pada sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang diajarkan ialah membaca Alquran, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-muridnya setiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya, madrasah-madrasah yang berada di dalam lingkungan pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren dapat berjalan dengan wajar.[6]
Kepercayaan jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan islam, sehingga tanpa disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.




BAB III
PENUTUP
1.                  Kesimpulan
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1)      Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2)      Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Kepercayaan jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan islam, sehingga tanpa disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.
2.            Kritik dan Saran
Setelah kita mempelajari pembahasan diatas maka kita dapat mengetahui sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang, alangkah baiknya kita bukan hanya sengetahui sejarah saja akan tetapi kita harus bisa mengaplikasikanya ke zaman sekarang dan zaman yang akan datang.








Daftar Pustaka
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Mudyaharjo,Redja, pengantar pendidikan (jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 )
Mustafa, Ally, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998)
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html


[1] Redja mudyaharjo, pengantar pendidikan (jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 ), hlm.267
[2] Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hlm.87
[3] H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm.103-105
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.64-65
[5] http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
[6] H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm.110